Jumat, 25 Desember 2009

Kosistensi - Karamah Terbaik Kita



Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

New York, 14 Mei 1994

Kita tidak menyebut mukjizat kecuali bagi nabi-nabi. Apa yang para awliya lakukan dengan keajaiban-keajaibannya, kita sebut sebagai Karamah. Allah menganugerahi para awliya kekuatan yang manusia lain tidak mampu melakukannya. Nabi bersabda : ‘Ajallu-l-karamat dawamu-t-tawfiq.’ Karamah yang terbaik adalah kesuksesan yang terus menerus. Bagi manusia biasa adalah dengan menjaga kesinambungan perilaku-perilaku yang baik pada cara / arah yang benar. Misalnya : tidak baik bila shalat 100 rakaat pada hari ini, 2 rekaat esok hari, kemudian tidak shalat sama sekali pada lusanya, lalu 50 rekaat pada hari selanjutnya. Apa manfaatnya ? tidak ada.

Yang terbaik adalah ibadah secara berkesinambungan. Jika sekarang shalat 5 kali sehari, lanjutkan terus dengan shalat 5 kali sehari. Jangan melakukan terlalu banyak pada suatu hari untuk kemudian berhenti selama sebulan. Kata Nabi, jika kalian meraih konsistensi, itulah sebuah karamah, kekuatan yang Allah anugerahkan dalam hati kalian. Hal itu lebih baik, daripada melakukan sesuatu yang orang lain tidak mampu melakukannya, seperti berjalan diatas paku-paku, atau memakan pecahan kaca. Itu bukan karamah. Karamah adalah menjaga kemajuan hidup kita sehari-hari, tidak berhenti dari satu waktu ke waktu lain. Jagalah konsistensi.

Seperti yang dikatakan shah Naqsyband tentang meletakkan 3 hal utama yang harus dilaksanakan murid-muridnya atas perintah syaikh ( menggali lubang, mengosongkan lautan, berjalan terus untuk meraih amanah..penerj ). Kesalahan kita adalah tidak percaya bahwa kita mampu mencapainya.

Setiap orang berpikir bahwa setelah mampu meraih tingkat tertinggi, dia ingin mengatur semua orang, dan menginginkan agar semua orang didalam kelompok itu mendengar dia, karena merasa dialah murid favorit syaikh. Hal ini salah. Seseorang yang duduk didekat barisan sepatu-sepatu adalah murid kesayangan syaikh, bukan yang duduk didekat syaikh. Inilah yang harus kita jaga dalam pikiran kita.

Kita memerlukan seseorang untuk membawa kita kembali pada syaikh; bukan seseorang yang menjauhkan kita dari beliau. Meninggalkan syaikh berarti mematahkan seluruh kemajuan kalian. Syaikh tidak peduli kalian meninggalkan beliau atau tidak, karena kalian adalah milik beliau. Nanti pada hari kiamat, beliau akan menarik kalian kembali kehadapannya. Namun dalam hidup ini, kalian akan selalu tertipu oleh seseorang yang akan menjauhkan kalian pada beliau.

Allah menunjukkan Ahmad al-Badawi, seorang ulama suci yang diminta datang di hadapan-Nya, namun harus mengambil sebuah kunci dari seorang pembimbing yang akan dikirim oleh Allah. “Sunnati fi khalqi,” “ Metode / jalan-Ku ada diantara umat manusia. Setiap orang harus bergantung pada yang lain untuk mendekati-Ku. Tidak ada yang mampu berdiri sendiri kecuali Aku. Akulah Sang Pencipta dan Aku tidak bergantung pada apapun.”

Sang ulama harus pergi pada awliya untuk mendapatkan kunci itu, dan awliya itu mengatakan : “ Harga yang kuminta bagi kunci itu adalah membuang segala ilmu yang engkau pelajari dari buku-buku dan ego. Kami tidak bergantung pada buku-buku. Itu adalah pengetahuan palsu, kamu mengumpulkan pengetahuan dengan egoisme, dengan kesombongan, dengan arogansi. Kelak kamu tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi pengikutmu. Kita harus buang semua pengetahuan itu. Jika kamu menerima, aku akan memberi kuncimu.”

Kata Ahmad al-Badawi : “Aku siap.” Itulah ketulusan akan apa yang beliau inginkan. Beliau menerimanya, walaupun berarti hidup taruhannya. Karena beliau adalah seorang ulama besar dan seorang hakim di negaranya. Jika syaikh mengatakan pada seseorang untuk menyerahkan hidupnya, dan dia dengan tulus memberikannya, maka dialah yang akan menerima rahasia-rahasia syaikh. Syaikh ingin memberi kita rahasia namun kitalah yang tidak ingin mengambilnya, karena kita tidak tulus.

Awliya itu mengambil pengetahuan Ahmad sampai beliau tidak lagi hafal surat Al Fatiha dan mengingat namanya sendiri. Masyarakat menyangka beliau telah gila, anak-anak kecil mengolok-olok dan melempari beliau dengan batu-batu di jalanan. Namun di dalam hati, beliau selalu bersama syaikhnya. Syaikh meninggalkan beliau dalam keadaan seperti itu sampai ada kesempatan mereka bertemu kembali. Pada saat pertemuan itu, keadaan ulama telah berada pada tingkat yang lebih matang. “ Tolonglah, demi Allah, demi Rasul-Nya, beri aku kunci itu. Aku ingin memasukinya.” Cinta itu begitu membakar didalam hati beliau.

Cinta itu adalah cinta karena kepedihan. Itulah kewajiban akan cinta. Kalian tidak mengambil kemanisan dari cinta, tapi kepedihan. Jika kalian merasakan kemanisan, itu bukan cinta, tapi hanyalah permen / manisan. Untuk mengambil permata, kalian harus memotongnya dan mungkin tangan kalian akan teriris juga. Cinta itu penuh dengan kepedihan dan penderitaan, itulah yang diperlukan. Bukan cinta yang penuh dengan kemanisan dimana syaikh mengajak kalian berkeliling untuk piknik. Cinta adalah dengan menguji kalian, seperti semut yang berjalan terus mencari makanan tidak peduli bila sebuah tangan atau kaki manusia akan meremukkannya.

Kata syaikh : “ Lihat kedalam mataku, sekarang kamu akan menerima pengetahuan spiritual kami. Kini saatnya kami alirkan pengetahuan Ilahi didalam hatimu.”

Sekarang ulama itu tidak lagi mengatakan,” Ini pengetahuanku.” Karena itu hanyalah ego. Sekarang yang dialirkan adalah pengetahuan para syaikh, tidak ada ego disana. Bila ingin dipakai dia bisa memakai, bila ingin ditinggalkan, dia bisa meninggalkannya. Kini tak seorangpun mampu memandang mata Ahmad al-Badawi, karena siapapun yang memandang mata beliau akan pingsan. Karena itu beliau memakai sebuah burku’ atau penutup mata jika ada yang ingin berbicara dengan beliau.

Untuk mendapatkan cinta dan kehadiran syaikh, ada beberapa syarat. Kita yang di negara-negara barat, sangat jauh pemahamannya akan ‘penderitaan cinta ‘ – ‘kepedihan cinta’. Padahal itu yang kita butuhkan untuk mencapai tingkatan penglihatan akan syaikh ; bagaimana mengetahui beliau, bagaimana memahami beliau, bagaimana mematuhi beliau dan menyadari apa yang harus kita lakukan.


Wa min Allah at-tawfiq bi hurmat al-Fatiha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar