Jumat, 25 Desember 2009

Rumah Segala Penyakit



Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
Guide Book Naqsybandi




Bagaimanapun, setiap penyakit ada obatnya. Memasuki bahasan ini, kami
catat hubungannya dalam sabda Nabi : " Perut adalah rumah dari
segala penyakit dan sumber dari segala kesembuhan adalah dengan
diet." Diet disini berarti waspada penuh akan apa yang masuk ke
mulut dan sampai ke perut kita. Langkah awal dalam berdiet adalah
mengontrol keinginan ego untuk makan. Nabi mengatakan : " Kami
adalah kaum yang tidak makan kecuali sedang lapar dan ketika kami
makan, tidak sampai kekenyangan."

Kepandaian yang benar dimiliki oleh mereka yang menjaga tangannya dari
meraih sesuatu untuk bisa dimakan lagi, orang seperti itu benar-benar
menjaga egonya. Ego selalu ingin lebih - mereka selalu tamak. Jika
Allah menganugerahi kita sebuah rumah, maka ego melirik mereka yang
memiliki rumah yang lebih besar, dia ingin memiliki rumah itu. Ego
tidak akan pernah mengatakan," Alhamdulillah, kita mempunyai
sebuah tempat untuk tinggal." Jika seseorang memiliki satu juta
dollar, ego ingin dua juta; jika ada yang punya dua juta, ego ingin 3
juta.

Yahya bin Yahya, seorang murid Imam Malik meminta nasihat. Imam Malik
memberinya 3 nasihat, setiap hal berisi sebuah harta karun. Kata
beliau : Aku akan menyusun seluruh obat-obatan para dokter, dan hasil
dari ilmu pengobatan dalam satu kalimat adalah : jauhkan tanganmu dari
makanan selama kamu masih punya keinginan untuk makan.

Dengan mengikuti nasihat itu, orang tidak akan melihat penyakit selama
hidupnya. Yang paling penting adalah melatih ego untuk mendengar dan
menerima kebenaran. Perang dengan nafsu berawal dari sebuah
percakapan, debat antara ruh (yang menginginkan kemenangan spiritual )
dengan nafsu/ego yang mencari kepuasan hal-hal yang paling dasar.
Ruh akan bertanya pada ego : "Kamu sudah selesai makan ?" yang
kemudian dijawab : "Belum, aku masih ingin beberapa gigitan lagi,
makanan ini sungguh enak." Pada saat itu diri yang suka mencela
( an- nafs al-lawwamah ) akan mengatakan : " Tapi kamu tidak
menjaga sunnah dalam hal makan." Itulah titik keputusan : untuk
mengamati sunnah atau tidak – untuk menjaga disiplin atau tidak
– untuk mengontrol nafsu atau tidak.

Untuk alasan itulah Nabi mengatakan : Berkontemplasi selama sejam
adalah lebih baik daripada 70 tahun ibadah. Berarti apa yang dicapai
dalam meditasi tidak bisa dicapai dengan hanya ibadah, karena iblis
juga menyibukkan diri dengan ibadah terus menerus, tidak ada bagian
dari surga dan bumi tersisa tanpa bekas dari sujud mereka. Namun
pada akhirnya iblis gagal akibat ego pemberontakkannya. Hanya karena
satu perintah Tuhan yang tidak dia patuhi menjadikannya jatuh dalam
kehinaan.

Syaikh Abul Hasan ash-Shadili mengatakan: " Buah dari muraqabah (
meditasi ) adalah talenta karunia dari Ilahi." Tapi meditasi
tidak bisa dilakukan diantara banyak orang, namun dengan mengisolasi
diri ( al-uzlah ). Dalam faktanya, alasan utama orang duduk menyendiri
adalah untuk melakukan meditasi. Meditasi itu benar-benar terpisah
dari semua mata dan telinga orang lain. Memberi kesempatan kalian
untuk melatih ego, menungganginya, seperti seorang joki menaiki
gunungnya sendiri. Begitu kalian menunggangi ego, maka dia tidak akan
bisa mengontrol kalian lagi. Ketika kalian mengatakan : " Aku
tidak mau makan." Dia akan mengatakan," Aku mendengar dan aku
patuh." Bila tidak dilatih, maka kalian yang akan di kendalikan
oleh ego.

Itulah sebabnya mengapa seorang guru bisa menguji murid-muridnya
dengan memberi mereka makanan yang berlebihan. Ujian semacam itu
sebenarnya untuk memerangi keinginan ego untuk tidak makan, yang
biasanya terasa bila perut telah kenyang dan makanan tidak begitu
lezat. Dalam menjaga cara-cara sufisme, tidak ada hal dilakukan untuk
menuruti keinginan ego. Jadi jika Syaikh memerintahkan kalian untuk
makan semangkuk penuh makanan lembut dan hambar, maka kalian harus
memakannya dengan senang hati, karena itu adalah kepatuhan dimana
Syaikh akan menaikkan maqam kalian.

Dan bila Syaikh membagikan makanan lagi, makanan yang penuh barakah
berasal dari tangan beliau, dari hasil ibadah-ibadah beliau, dan
menyiapkan makanan itu ketika beliau berdoa dan bershalawat atas Nabi
– lalu kalian, walaupun dengan cara paling halus mengatakan
"Ini sudah cukup." Hal itu menampakkan ketidak patuhan kalian,
keinginan dalam hati kalian untuk mengatakan "Tidak, aku tidak
ingin makan lagi." Maka hati-hatilah, jika reaksi kalian pada
sesuatu yang sebenarnya tidak membahayakan adalah seperti itu, lalu
bagaimana bila selanjutnya Syaikh meletakkanmu dalam ujian yang lebih
berat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar