Senin, 21 Desember 2009

SEBUAH PELAJARAN TENTANG MENGHORMATI ORANG LAIN..

Hormat Kepada Setiap Orang, Hormat Kepada Sahabat rasul.


Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani an-Naqshbandi  
Bismillah hirRohmaanir Rohim
Seorang saudara bertanya, “Syeikh Nazim, bagaimana kita bisa menghormati setiap orang, sebagaimana yang anda sampaikan kami harus lakukan? Beberapa orang, saya, seperti yang lainnya tidak demikian. Bagaimana saya bisa menjaga sikap hormat untuk semua?”
Maulana menjawab, “Kita menghormati semua sifat manusia, semua orang karena mereka merupakan ciptaan Tuhan kita. Mereka milik Allah. Apakah terlalu berlebihan untuk menghormati hamba-hambaNya, demi kemulianNya? Kamu menghormati anak saya, contohnya.  Kamu berkata, ‘Ini anak Syeikh Nazim.’ Mengapa? Demi diri saya, demi kemuliaan saya. Demi Allah, yang merupakan pemilik semua orang, demi Dia, kita menghormati semua. Dan demi Muhammad (saw), kita menghormati umat beliau, tanpa melihat sifat-sifat individu mereka.
“Bila kita melihat sifat-sifat mereka, kita tidak bisa menghormati. Tapi tanpa melihat sifat-sifat mereka, kita mengatakan, ‘Mereka hamba-hamba Tuhan kita, dan umat Nabi kita, kita memberikan mereka sikap hormat.’ Ini demi kemuliaan Allah dan RasulNya (saw).
“Kita memberikan mereka sikap hormat, bahkan jika mereka menyakiti kita. Ini karena Allah berfirman, ‘Wahai hambaKu! Bersabarlah terhadap hamba-hambaKu! Janganlah melihat pada kerugian yang mereka mungkin bawa kepadamu. Bersabarlah; Aku akan memberikanmu pahala!”
“Apakah sikap hormat, Syeikh Nazim?” tanya seorang murid.
“Yaitu untuk menjaga kemuliaan mereka,” jawab Maulana. “Sikap hormat berarti memberikan mereka nilai, tanpa melihat sifat-sifat mereka. Abu Yazid al-Bistami (semoga Allah menganugerahkan beliau lebih banyak kemuliaan), Raja para Awliya, berkata, ‘Saya tidak pernah bertemu orang yang tidak saya hormati. Entah dia lebih tua, lebih muda, Muslim, atau bukan, saya tetap menghormati siapa saja.’
“Setiap orang,” Syeikh Nazim melanjutkan, “karena tak seorangpun tahu bagaimana akhir hidup kita – siapa dari kita yang memperoleh kebenaran, siapa yang memperoleh Iman. Mungkin dia yang dianggap sebagai yang tidak beriman akan menjadi beriman pada akhirnya, sedangkan dia yang menganggap sebagai orang yang beriman akan kehilangan keyakinannya. Oleh karena itu Abu Yazid (semoga Allah menganugerahkan beliau lebih banyak kemuliaan) berkata, ‘Saya mewajibkan diri saya agar menjaga sikap hormat terhadap semua orang, dan saya tidak pernah mengharapkan siapapun untuk menghormati saya.’
“Apakah kalian memahaminya? Abu Yazid (semoga Allah menganugerahkan beliau lebih banyak kemuliaan) tidak pernah berharap siapapun menghormati beliau bahwa dirinya seorang Raja para Aulia. Ini tidak pernah muncul dalam hatinya! Apa arti kerendahan hatinya? Inilah posisi tertinggi dari sifat rendah hati.
“Kita semua menunggu dihormati oleh yang lain. Mengapa mereka tidak berdiri untuk kita? Mengapa mereka tidak menghormati kita? Sekarang ini, setiap orang meminta hal ini. Tidak ada yang minta untuk menghormati yang lain, mereka hanya minta agar dihormati. Tak seorangpun menyadari bahwa jika kamu memberikan sikap hormat kepada yang lain, mereka akan menghormati kamu juga. Bila kamu menghormati mereka, mereka akan menghormati kamu tanpa kamu minta. Ini merupakan perintah Allah yang Maha Kuasa! Ini merupakan kewajiban kamu menjaga sikap hormat terhadap semua orang. Jangan meminta orang lain agar menghormatimu! Inilah jalan kita menuju Allah yang Maha Kuasa; dengan sikap rendah hati, tidak dengan sikap bangga.
“Kamu harus menjaga hak-hak orang lain. Apakah artinya ini? Setiap manusia mempunyai hak dalam hidup ini yang harus kita hormati. Kita harus menjaga kemuliaan mereka, harta benda mereka, dan hak-hak mereka sebagai tetangga; tidak menyakiti mereka atau memanfaatkan mereka. Jika mereka membutuhkan bantuanmu, janganlah disembunyikan. Bila mereka melihat wajahmu, kamu harus menyapa mereka.”
Seorang saudara bertanya, “Apakah ini berarti bahwa seseorang yang menganggap dirinya terlalu tinggi agar direndahkan; bahwa dia dijadikan bahan cacian; dan dipermalukan di depan banyak orang? Bukankah ini pernah dilakukan oleh para sufi kadang-kadang dengan tujuan merendahkan seseorang?
Syeikh menjawab, “Tidak perlu. Jika dia terlalu angkuh, jangan duduk bersamanya. Kamu harus melihat niatnya. Mengapa ia menghina orang? Kamu harus selalu melihat niat seseorang.”
Murid yang lain berkata, “Saya pernah mengalami komentar yang memalukan, biasanya mengenai agama saya. Saya bisa mendengarkan dan tetap menjaga mulut saya sampai waktu tertentu, tapi setelah beberapa lama saya merasa diri saya seperti orang bodoh. Orang yang menghina saya pasti merasa bahwa saya bodoh juga.”
-à”Jangan!” jawab Syeikh Nazim, “kamu tidak perlu membiarkan penghinaan mereka dengan berdiam diri. Kamu harus meminta dari mereka ‘fursa’ izin untuk memberikan jawaban terhadap perkataan mereka. Kamu harus meminta, dengan segala hormat terhadap orang tersebut, ‘Untuk satu menit bolehkah saya bicara?’ Lalu kamu boleh menyatakan pendapatmu. Jangan bertengkar dengan mereka ketika mereka menghina.”
Pertanyaan kedua berlanjut, “Berulang kali kita bertemu orang-orang yang bersikap dan berbicara sangat buruk…”
Yang lain menambahkan, “…dan kita ingin berkata pada mereka, ‘Lihatlah apa yang kamu lakukan! Tidakkah kamu malu pada dirimu sendiri?’ Bukankah ini terkadang berguna?”
Syeikh menjawab dengan sabar, “Kita harus menjawab hanya dalam batas-batas hormat. Dia ‘jahil’ dan kita tidak boleh turun ke tingkatan mereka dengan bertukar pendapat dan penghinaan. Tingkatannya terlalu rendah, kita tidak boleh seperti dia. Mengerti?”
The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani
by Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar