Kamis, 22 April 2010

Tarekat Syadziliyah



Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.


1.Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.

2.Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

3.Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).

4.Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.

5.Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

1.Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.

2.Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

3.Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

4.Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

5.Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:

Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Urgensi Mursyid Dalam Tarekat



Allah Swt. berfirman:

“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
> anda juga bisa baca artikel ini di www.sufinews.com

Eksistensi Seorang Mursyid

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.

Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.

Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.

Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.


(Penulis adalah pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia).

Mendermakan Harta dan Meringankan Beban Orang Lain



Pengajian Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Diantara akhlak mereka adalah banyak berderma dan menolong saudara-saudara mereka, baik saat dalam perjalanan maupun keseharian di rumah. Dengan demikian terjadi tolong menolong dalam membela agama yang mana menjadi tujuan mereka.

Dalam hadits dikatakan: "Apabila para hartawan kalian adalah orang-orang dermawan, para pemimpin kalian adalah orang-orang pilihan dan urusan kalian diselesaikan dengan musyawarah maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian dari pada isi kandungan di dalamnya. Akan tetapi jika para pemimpin kalian adalah orang-orang jahat, para hartawan kalian adalah orang-orang kikir dan urusan kalian ada di tangan para wanita maka isi dalam bumi lebih baik dari pada permukaannya."

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi (SAW) lalu meminta sesuatu kepada beliau. Lalu beliau memberi empat puluh ekor domba. Laki-laki itu pun kemudian kembali kepada kaumnya dan berkata: "Wahai kaumku, masuk Islamlah, sesungguhnya Muhammad memberi pemberian dengan pemberian orang yang tidak takut miskin."
Husain bin Ali (ra) pernah menikahi seorang perempuan lalu mengutus bersamanya seratus budak perempuan dan masing-masing diberi uang saku seribu dirham.

Abdullahh bin Umar (ra) meminta syarat kepada orang yang ingin berpergian bersamanya agar Abdullah sendiri yang membayarinya, melayaninya dan menjadi muadzin untuk Shalat selama dalam perjalanan.
Aisyah (ra) pernah berkata: "Surga adalah tempat tinggal orang-orang dermawan dan neraka tempat tinggal orang-orang kikir."
Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Tanda orang mulia adalah ubannya berada di kepala bagian depan dan demikian pula janggutnya. Sedangkan orang hina ubannya berada di belakang kepalanya dan tidak memberi manfaat kepada orang lain dengan sesuatu kecuali karena harapan atau ketakutan."

Ibrahim bin Adham berkata: "Sungguh mengherankan, seorang laki-laki hina, kikir dengan dunia terhadap teman-temannya, tetapi dermawan dengan surga kepada musuh-musuhnya."

Imam Syafi'i (ra) berkata "Di antara tanda orang hina adalah apabila naik ia bersikap kasar terhadap sanak kerabatnya, tidak mengakui kenalan-kenalannya, dan bersikap sombong terhadap orang terhormat dan mulia."
Muhammad bin Sirin berkata: "Kami pernah menjumpai orang-orang yang suka saling memberi uang perak (dirham) di letakkan di nampan seperti buah-buahan."

Yahya bin Muadz berkata "Aku heran kepada orang yang memegang harta benda sementara ia mendengar Firman Allah (SWT): "jika kamu membelanjakan harta kepada Allah (SWT) dalam bentuk pinjaman yang baik, tentu Dia akan melipat gandakan balasan-Nya kepada kamu." (at-Taghabun 17).

(Saya katakan) Bilamana sebab berhentinya hamba membelanjakan harta bendanya dalam kebajikan yang diperintahkan oleh Allah (SWT) adalah karena tidak membenarkan janji-Nya berupa balasan pahala yang berlipat ganda, maka amal perbuatan apa pun tidak berguna baginya sebesar gunung sekali pun. Sebab amal itu tanpa asas.

Maka patut direnungkan seandainya ada seorang manusia duduk dan dihadapannya terdapat suatu kotak besar penuh dengan uang emas, lalu berkata: "Barang siapa menyantuni seorang fakir satu dirham (mata uang perak.) maka aku akan balas memberinya satu dinar (mata uang emas)", tentu orang-orang akan berlomba-lomba memberi orang-orang fakir sedekah karena mengharap jumlah uang yang lebih banyak. Berbeda dengan seandainya ia menjanjikan pemberian dinar setelah satu tahun umpamanya maka yang tertarik barangkali hanya sedikit sekali di antara mereka, karena kurang yakin padanya. Tetapi bilamana keyakinan mereka kuat tentu akan menyambut ajakan itu. Sebab syarat kesempurnaan iman seseorang adalah meyakini apa yang dijanjikan oleh Allah (SWT) berupa hal-hal ghaib seperti halnya yang tampak. Di sinilah manusia ada yang menyambut dan ada yang tidak atas perintah Allah (SWT) sesuai dengan iman mereka. Wallahu a'alam.

Abdullah bin Mas'ud (ra) pernah ditanya tentang orang berakal itu siapa? Ia menjawab: "Orang yang menyimpan hartanya di suatu tempat dimana hartanya itu tidak dimakan ulat dan tidak dicuri maling, yakni di langit."
Kisra pernah berkata: "Kamu tidak memiliki hartamu, apabila kamu belanjakan maka, hartamu itu telah kamu miliki."

Suatu kali seseorang masuk kota Basrah lalu bertanya: "Siapa tuan kota ini?" Ia mendapat jawaban: "Hasan Basri". Ia bertanya lagi: "Dengan apa ia menjadi tuan kota ini atas penduduknya?" Orang orang menjawab: "Karena ia tidak membutuhkan pesona dunia yang ada di tangan mereka tetapi mereka membutuhkan ilmu dan agama yang ada, padanya." Orang itu kemudian berkata: "Tidak diragukan ia adalah tuan mereka! "
Allah (SWT) pernah mewahyukan kepada Musa. (as): "Sungguh Aku memberitahukan kepadamu tentang hamba-hamba Ku, perihal empat perkara yang Aku sayangkan, yaitu Aku meminjamkan kepada mereka apa-apa yang Aku berikan kepada mereka lalu mereka kikir, Aku peringatkan kepada mereka tentang iblis tetapi mereka tidak sadar, Aku mengajak mereka ke surga tetapi mereka tidak menyambutnya, dan aku menakuti mereka dengan neraka, tetapi mereka tidak takut dan tidak berusaha melakukan amal-amal ahli surga.."

Seorang perempuan pernah menemui Imam Laits bin Sa'd (ra) dengan membawa bejana kecil meminta kepadanya madu seraya berkata: "Sesungguhnya suamiku sedang sakit." Lalu Imam Laits memerintahkan (keluarganya) untuk mengisi penuh. Ketika dikatakan bahwa perempuan itu hanya meminta sedikit, ia menjawab: "Ia memang meminta sesuai dengan kepantasannya dan kami memberi sesuai dengan kepantasan kami."

Hasan Basri berkata: "Kamu aneh, hai anak Adam, membelanjakan untuk hawa nafsumu dengan boros tanpa pertimbangan. Sementara kamu kikir membelanjakan untuk keridhaan Tuhanmu dengan dirham. Kamu akan menyadari kedudukanmu, hai bodoh, di sisi-Nya kelak."

Ia juga berkata: "Jangan sampai kamu meminta keperluan kepada orang kikir. Sesungguhnya barang siapa meminta kepadanya suatu hajat, tak ubahnya seperti orang ingin menangkap ikan dari daratan dan belantara."
Al-Junaid adalah orang yang sama sekali tidak pemah menolak seseorang yang meminta kepadanya sesuatu, dan mengatakan: "Aku berusaha mengikuti akhlak Rasulullah (SAW)."

(Saya katakan) Salah satu asma Allah adalah al-Mani' (yang Maha tidak Memberi) maka Dia tidak mau memberi orang yang memohon kepada-Nya sesuatu karena hikmah (rahasia yang Dia ketahui dengan ilmu-Nya yang tanpa batas) bukan karena kikir. Sebagaimana dikisahkan dari orang-orang besar bahwa mereka ketika menolak permintaan orang yang meminta adalah karena kearifan akal budinya meniru Allah (SWT).
Muawiyah pemah suatu hari mengirim utusan kepada Aisyah (ra) membawa seratus ribu dirham, lalu ketika itu pula Aisyah membagi-bagikannya hingga tidak tersisa untuknya sedikit pun. Begitu juga dengan Thalhah bin Ubaidillah (ra) pernah membagikan seratus ribu dirham, sementara ia sendiri duduk menjahit ujung selendangnya yang sobek.
Abdullah bin Umar (ra) berkata: "Aku tidak melihat setelah Nabi (SAW) orang yang lebih suka memberi dari pada Muawiyah (ra)".
Ia bertemu dengan Hasan bin Ali (ra) lalu berkata: "Marhaban, wahai anak dari putri Rasulullah (ra)" Kemudian memerintahkan agar memberikan kepadanya tiga ratus ribu dirham. Kemudian bertemu dengan Abdullah bin Zubair (ra), lalu memerintahkan agar memberikan kepadanya seratus ribu dirham.

Hammad bin Salamah setiap hari selama bulan Ramadhan mengundang orang-orang miskin untuk berbuka puasa bersamanya sebanyak lima puluh orang. Bilamana hari raya tiba ia memberi mereka masing-masing satu pakaian dan uang seratus dirham. Ia juga memberi guru ngaji anaknya setiap bulan tiga puluh dinar. Suatu saat kancing bajunya lepas lalu seorang penjahit memperbaikinya dan ia mernberi kepadanya tiga puluh dirham.
Ia pernah berkata: "Seandainya bukan karena adanya orang-orang yang membutuhkan kepadaku sehingga aku dapat memberinya maka aku tidak ingin berdagang apapun." Bilamana melihat seorang perempuan cantik meminta-minta kepada orang maka ia memberinya kepingan dirham, pakaian dan berkata: "Aku lakukan ini agar ada laki-laki yang tertarik menikahinya karena khawatir kecantikannya menimbulkan fitnah."
Abdullah bin Abu Bakrah (ra) memberi infaq kepada para tetangganya sebanyak empat puluh keluarga di sekelilingnya dan memberi makan berbuka puasa kepada orang-orang miskin. Ia mengirim kepada mereka daging pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ia membebaskan setiap tahunnya seratus budak pada hari raya Idul Fitri.

Abdullah bin Rabi'ah apabila dihijam (pengobatan melalui cuci darah dengan cara menyedotnya) oleh seorang hamba sahaya. Hamba itu kemudian dimerdekakannya atau dibeli dari tuannya lalu dimerdekakan.
Ketika Abdullah bin Luhai'ab dikunjungi oleh Imam Laits dan ia sedang menangis, lalu ditanya: "Apa yang membuatmu menangis wahai Abdullah?" Ia menjawab: "Aku menangis karena mempunyai hutang seribu dinar." Imam Laits kemudian mengutus pembantunya untuk membawa uang agar Abdullah dapat melunasinya."

Suatu ketika Abdullah bin Ja'far (ra) diundang untuk menghadiri walimah (acara pernikahan) akan tetapi tidak dapat hadir karena suatu. halangan. Kemudian ia mengirim lima ratus dinar kepada shahibul walimah dan meminta maaf kepadanya atas ketidakhadirannya.

Seorang laki-laki datang menemui Said bin Ash (ra) meminta sesuatu. Lalu Said memerintahkan pembantunya memberi lima ratus. Akan tetapi pembantunya itu ragu, apakah dirham atau dinar yang dimaksud. Said lalu berkata: "Sebenamya yang aku maksud adalah dirham (uang perak), akan tetapi karena kamu ragu maka gantilah dengan dinar (uang emas)." Laki-laki itu kemudian duduk menangis. Said pun lalu bertanya heran: "Apa yang membuatmu menangis?" Ia menjawab: "Aku menangis karena orang seperti anda akan turun ke dalam bumi dan dimakan tanah!" Said bin Ubaidah (ra) berdoa dan mengucapkan: "Ya Allah, karuniakanlah hamba rizki harta yang dengannya hamba berbuat baik. Sesungguhnya hanya dengan harta hamba dapat berbuat baik! Kemudian mengatakan kata-katanya: "Aku lihat, untuk berbuat baik jiwaku rindu tetapi hartaku tidak memenuhi kerinduan itu karena kekikiranku, jiwaku tak menurutiku untuk berbuat baik, hartaku tak mengantarku. Saudaraku, pahamilah itu. Jangan sampai anda berpenampilan syaikh (kyai) tetapi berakhlak kebalikan mereka dalam kedermawanan, kemuliaan dan suka menolong. Mereka memberi banyak harta namun demikian tidak memandang diri mereka lebih dari pada orang lain. Di antara mereka bahkan ada yang memotong kain selendangnya menjadi dua dan memberikan satu potong untuk saudaranya."
Abdullah bin Umar pernah ditanya: "Apa hak muslim atas muslim lainnya?" Ia menjawab: "Hendaklah ia tidak kenyang dan membiarkan saudaranya lapar, hendaklah ia tidak berpakaian dan membiarkan saudaranya tidak berpakaian, dan hendaklah tidak kikir dengan warna putih (dirham) dan kuning (dinar)."

Abu Darda' (ra) berkata: "Bagaimana seseorang di antara kamu kikir dengan dirham dan dinar terhadap saudaranya padahal apabila meninggal dunia ia menangisinya?"
Dikisahkan bahwa seorang sahabat Nabi (SAW) memberi hadiah kepada saudaranya. Lalu saudaranya itu menghadiahkan kembali kepada saudaranya. Hadiah itu terus dihadiahkan dari satu orang ke orang lain hingga akhirnya sampai kepada pemberi pertama. Padahal masing-masing membutuhkan hadiah itu, tetapi lebih mendahulukan saudara mereka. Bilamana di antara mereka ada yang menikah, sementara ia miskin maka tidak jarang mas kawinnya mereka yang menanggung, disamping biaya hidup satu tahun untuk membesarkan hatinya dan menjadi modal rumah tangga baru, seperti lazimnya orang yang menikah.

Hasan bin Ali sama sekali tidak pernah menolak orang yang meminta. Suatu saat seorang meminta kepadanya. Lalu ia memberi sepuluh ribu dinar. Orang itu lalu berkata: "Aku tidak mempunyai tempat untuk membawanya." Hasan kemudian memberikan surbannya."
Bakar bin Abdullah al-Mazni berkata: "Harta yang paling aku sukai adalah yang telah aku sampaikan kepada saudara-saudaraku dan yang paling aku tidak sukai adalah yang tinggal di belakangku.”

Orang-orang shalih itu bilamana didatangi pengemis tampak gembira diwajah mereka dan menyambutnya hangat seraya berkata: "Selamat datang, hai orang yang ikut memikul beban kami menuju akhirat tanpa upah dan mengurangi sesuatu yang memalingkan kami dari ibadah kepada Tuhan kami." Di antara mereka ada yang memberikan seribu dinar kepada saudaranya seraya mengatakan: "Bagikanlah kepada, orang-orang yang membutuhkan dan janganlah dinisbahkan kepadaku."
Dhihak pernah berkata, menjelaskan firman Allah: "Sesungguhnya kami melihat engkau adalah termasuk orang-orang yang suka berbuat baik." (Yusuf:36)

Bahwa kebaikan Yusuf (as) adalah setiap kali ada yang sakit di penjara (bersama Yusuf) ia mengurusinya dan setiap kali ada yang berada dalam kesempitan ia memberi kelapangan. Bilamana tidak mempunyai sesuatu untuk orang fakir, Yusuf berkeliling untuk memintakan sesuatu yang dibutuhkan orang fakir kepada orang-orang.

Orang-orang shalih bilamana pembantu salah seorang di antara mereka meninggal dunia maka mereka pun mengirim pembantu penggantinya. Bilamana di antara mereka ada yang mempunyai hutang, mereka segera membantu, melunasinya tanpa memberitahu kepadanya.
Rabi' bin Khaitsam, Ibrahim an Nakhi dan Atha' as Sulami hidup dari hubungan dengan para saudara, dan tidak mempunyai ladang pertanian maupun peternakan atau lainnya.

(Saya katakan) Diriwayatkan dari kaum salaf tentang celaan meninggalkan bekerja atau makan dari makanan orang lain berlaku terhadap orang yang mengharap, atau diberi makan karena agama mereka, atau hal sejenisnya.
Dikisahkan bahwa Ibnu Muqanna diberitahukan bahwa tetangganya berniat menjual rumahnya karena dililit hutang. Lalu ia mengirim uang sebesar harga rumah itu dan berkata: "Jangan kamu jual rumahmu sebab, kami lebih banyak mengambil manfaat dari pada kamu dengan rumah itu selama kami duduk berteduh."
Ibrahim At-Taimi seringkali mengumpulkan sekelompok orang miskin dan duduk bersama mereka dalam masjid." Ia berkata kepada mereka: "Beribadahlah, sementara aku senantiasa melayani dan memberi bekal kepada kalian."

Maimun bin Muhran berkata: "Barang siapa mencari kerelaan saudara-saudara, tanpa berbuat kebaikan maka ia telah salah jalan."
Dalam satu riwayat "Maka hubungilah ahli kubur." Amirul Mu'rninin Ali (ra) pemah berkata: "Sebaik-baik orang Muslim adalah yang menolong orang-orang Muslim dan bermanfaat bagi mereka."
Nabi Isa (as) berkata: "Perbanyaklah sesuatu yang tidak dimakan api dan tidak pula tanah." Orang-orang bertanya: "Apa itu?" la menjawab: "Yaitu kebaikan, sebab meskipun kebaikan itu tidak memberi manfaat langsung orang yang mendapat kebaikan itu tidak mendatangkan kecelakaan dalam waktu dekat atau jauh.

Saudaraku, camkan dalam benak Anda, dan ikutilah kata-kata orang-orang terdahulu yang shalih.

---(ooo)---www.sufinews.com

Tahukah Engkau Apakah Cinta itu?



Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzili

Itulah pertayaan yang diajukan oleh seseorang kepada Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily ra:

1. Apakah yang disebut minuman Cinta?
2. Apa gelas piala Cinta?
3. Siapa sang peminum?
4. Apakah rasa minumannya?
5. Siapakan para peminum sejati?
6. Apakah rasa segar minuman?
7. Apakah yang disebut mabuk Cinta?
8. Apa pula sadar dari mabuk itu?

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili menjawab:

Minuman Cinta adalah Cahaya yang cemerlang berkalian dari Kemahaindahan Sang Kekasih.

Gelas pialanya adalah kelembutan yang menghubungkan ke bibir-bibir hati.

Sang peminum adalah pihak yang mendapat limpahan agung kepada orang-orang istemewa seperti para Auliya dan hamba-hambaNya yang saleh. Allah Yang Maha Tahu kadar kepastian dan kebajikan bagi kekasih-kekasihNya.

Sang Peminum adalah pecinta yang dibukakan keindahan cinta itu dan menyerap minuman nafas demi nafas jiwa.

Rasa minuman adalah rasa dibalik orang yang terdendam rindunya ketika hijab diturunkan.

Sang peminum sejati adalah pecinta yang meneguk arak cinta itu, sejam dua jam.

Rasa segar peminuman cinta adalah bagi orang yang dilimpahi arak cinta dan terus menerus meminumnya hingga kerongkongan penuh sampai ke urat nadinya. Cahaya Allah ada dibalik minuman yang melimpah itu.

Mabuk Cinta adalah ketika seseorang hanyut dalam rasa dan hilang akal, tidak mengerti apa yang dikatakan dan diucapkan padanya.

Sadar dari mabuk cinta, adalah situasi sadar ketika gelas piala minuman cinta dikelilingkan, di hadapan mereka berbagai kondisi ruhani silih berganti, lalu kembali pada dzikir dan ketaatan, tidak terhijabi oleh sifat-sifat dengan berbagai ragam kadar yang ada, itulah yang disebut sebagai waktu sadar cinta, ketika pandangannya meluas melintas batas dan pengetahuannya semakin bertambah.

Mereka berada di bintang-bintang pengetahuan, berada di rembulan Tauhid, untuk menjadi petunjuk ketika malam menjadi gulita. Mereka dengan matahari ma'rifat, mencerahi padang harinya. Mereka itulah yang disebut Hizbullah (Pasukan-pasukan Allah) dan ingatlah bahwa Hizbullah itulah yang menang." (Al-Mujadilah: 22)

Nasehat-Nasehat Sulthonul Auliya' Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily



Menyikapi Beban Dunia

Syeikh Abul Abbas al-Mursy bercerita:
Suatu hari aku dan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzily melakukan satu perjalanan dan kami menuju kota Iskandariyyah, dari Marokko. Aku telah merasakan kesulitan sehingga aku begitu lemah akibat beban yang saya bawa. Syeikh tiba-tiba berkata:
"Ahmad!"
"Ya, tuanku"
"Adam 'alaihissalam telah diciptakan oleh Allah dengan tanganNya, dan para malaikat telah bersujud kepadanya. Dia telah tinggal di syurga selama setengah hari (yakni lima ratus tahun), kemudian dia telah diturunkan ke muka bumi. Demi Allah, dia tidak diturunkan oleh Allah ke atas bumi untuk merendahkan derajatnya, tetapi justru untuk menyempurnakannya. Sesungguhnya, dia diturunkan ke atas bumi untuk dijadikan seorang khalifah, seperti firmanNya: "Aku akan melantik seorang khalifah di atas bumi."

Allah tidak mengatakan (pelantikan Adam 'alaihissalam itu) di syurga ataupun di langit. Karena itu, turunnya ke bumi adalah turun dengan kemuliaan, bukannya turun dengan kehinaan. Sesungguhnya, dia telah menyembah Allah di syurga melalui ibadah ma'rifat (ubudiyatut-ta'rif), maka telah diturunkannya ke bumi agar dia menyembahNya dengan ibadah Taklif (mengemban tugas, 'ubudiyatut-taklif). Apabila telah terhimpun dua sifat kehambaan (ubudiyatain), barulah dia layak dilantik sebagai khalifah.
Dan engkau pun memiliki bagian dari Nabi Adam 'alaihissalam. Engkau bermula di Langit ar Ruh, di dalam Syurga al Ma'arif. Maka, diturunkannya dirimu ke atas Bumi an Nafs, agar engkau menyembahNya dengan at taklif. Agar setelah berhimpun pada dirimu kedua sifat kehambaan ini, barulah engkau layak dilantik sebagai seorang khalifah."

Makan yang Enak, Tidur yang Nyenyak

Makanlah makanan yang paling enak, minumlah minuman yang paling segar, tidurlah di atas hamparan yang paling empuk, dan pakailah pakaian yang paling halus. Maka, jika seseorang dari kalian berbuat demikian, lalu dia mengucapkan alhamdulillah, niscaya seluruh anggota tubuh badannya juga turut mengucapkan syukur kepada Allah.
Berbeda jika seseorang itu hanya makan roti dengan garam, memakai pakaian yang kasar, tidur di atas tanah (atau lantai), dan minum air panas, lalu mengucapkan alhamdulillah. Sebenarnya, di dalam ucapan itu, ada rasa keluh kesah dan tidak puas hati dengan takdir Allah Ta'ala.
Padahal ia mengetahui bahwa berkeluh kesah dan tidak merasa puas hati dengan takdir Allah itu lebih besar dosanya daripada mereka yang bersenang-senang dengan kepentingan duniawi.
Mereka yang bersenang senang dengan kepentingan duniawi itu masih berada di dalam batas melakukan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah. Sedangkan orang yang berkeluh kesah dan tidak rela (dengan takdir Allah), benar-benar telah melakukan sesuatu yang telah dilarang oleh Allah.

Wirid yang Sampai Kepada Allah

Abul Abbas Al-Mursy bercerita, "Aku bertanya kepada guruku berkenaan wirid orang orang yang telah benar-benar sampai (wushul) kepada Allah."
Beliau berkata, "Dengan cara menggugurkan hawa nafsu dan mencintai Tuhannya. Dan teguh memegang kecintaan itu, dibanding mencintai yang lain daripada Allah."
"Siapa yang ingin bersahabat dengan Allah, maka seharusnya ia memulai dengan meninggalkan segala syahwat diri (kepentingan pribadi). Sang hamba tidak akan sampai kepada Allah, jika masih ada pada dirinya segala kesenangan dirinya. Dan tidak juga sampai, jika dalam dirinya ada segala keinginan."

Adab Bersama Allah dan RasulNya, Syeikh dan Sesama



Syeikh Ibnu ‘Ajibah Al-Hasany


Adab Bersama Allah dan RasulNya

Untuk kalangan awam:
Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-laranganNya. Mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi ahli bid’ah.
Untuk kalangan Khawash:
Memperbanyak dzikir, muroqobah bagi kehadiranNya dan memprioritaskan Cinta kepadaNya dibanding lainnya. Syeikh Zaruq menambahkan, dengan: menjaga aturan, menepati janji dengan Allah dengan bergantung pada Allah, Ridlo dengan pemberianNya dan mencurahkan kemampuan jiwanya. Sedangkan adab bersama Rasulullah SAW, (bagi Khawash) adalah memprioritaskan cinta pada Rasul, mengikuti petunjuk, berakhlak dengan budi pekertinya.
Khawashul Khawash (Al-Arifun):
Senantiasa patuh dalam segala hal kepadaNya, mengagungkanNya untuk segalanya, dan melanggengkan ma’rifat dalam Tajally Jalal dan JamalNya. Sedangkan bersama Rasulullah saw.: Mewujudkan seluruh hakikat dirinya dalam cakupan Rasul saw, mengagungkan ummatnya dan senantiasa memandang cahayanya.

Adab Bersama Syeikh

Adab Dzohir:
Menjalankan perintahnya (walaupun bertentangan dengan keinginannya), menjauhi larangannya, walau pun tampaknya (secara lahiriyah) keliru.

Harus tenang , sopan dalam kharisma Syeikh ketika berada di hadapan Syeikh. Tidak tertawa juga tidak mengeraskan suaranya, tidak pula memulai pembicaraan sebelum ditanya. Atau memahami bahasa isyaratnya, dengan pemahaman jiwa. Tidak makan bersamanya (kecuali diajak), tidak makan di depannya, juga tidak tidur bersamanya, atau dekat dengannya.

Bergegas khidmah padanya secara material maupun jiwanya menurut kemampuannya. Khidmah ini bisa menjadi penentu Wushul kepada Allah.
Mengikuti majlisnya, atau minimal sering bertemu. Karena pertemuan ini bisa mempercepat wushul kepada Allah.

Adab Bathin:
Meyakini keparipurnaannya, dan meyakini kemursyidannya, karena Syeikh telah menyatu dalam syariat dan hakikat, jadzab dan suluk secara paripurna. Dan Syeikh senantiasa berada pada jejak-jejak Rasulullah SAW.

Mengangungkan dan menghormatinya baik secara ghaib maupun hadir, dengan tetap mencintai di hatinya sebagai bukti pembenaran jiwanya.

Melepaskan akal rasional, prestasi dan pristis serta kapasitas ilmiah dan amaliyahnya, kecuali yang tumbuh dari hadapan Syeikhnya. Sebagaimana dilakukan oleh Syekh Abul Hasan as-Syadzily ketika bertemu Syeikhnya. Siapa pun yang hendak menemui syeikhnya, hendaknya ia memandikan ilmu dan amalnya sebelum ia bertemu dengan syeikhnya, agar mendapatkan minuman yang murni dari lautan ilmunya yang mulia.

Tidak boleh pindah dari satu Syeikh ke Syeikh lain. Karena perpindahan ini sangat tercela menurut ahli thariqah. Namun, diperkenankan pindah dari Syeikh Ilmu Dzohir (syariat) ke Syeikh syariat lainnya.

Adab dengan Sesama

Menjaga kehormatan mereka, apakah ia hadir atau tidak. Tidak boleh saling mencela, saling menggunjing, tidak boleh meremehkan sesama. Karena itu tidak boleh mengatakan, “murid si syeikh Fulan lebih sempurna dibanding murid syeikh fulan.” Si Fulan ini ‘arif, si fulan itu tidak arif. Si Fulan kuat dan si fulan lemah. Karena ungkapan itu tergolong pergunjingan, dan jelas haram. Apalagi bagi menggunjing para auliya’. Jangan sampai si murid menggunjing Waliyullah.

Turut menasehati jika terjadi kesalahan dan kesesatan, membantu keperluan mereka, karena diantara mereka ada yang pemula, ada pula yang sudah sampai (wushul).

Saling bertawadlu’ antar mereka, membantu mereka untuk mudah mengingat Allah. Saling membantu secara maksimal. Pembantu seorang kaum itu berarti pemuka kaum itu. “Saling tolong menolonglah kamu atas dasar kebajikan dan ketaqwaan.” (Firman Allah).

Memandang dengan pandangan hati yang jernih pada mereka, tidak menganggap kurang pada sesama kaum Thariqat Sufi.

Jika ia melihat kekuarangan secara dzahir (tampak di permukaan) hendaknya sebagai mukmin ia menempuh rasa maaf, hingga tujuh puluh kali. Dan jika saja masih tampak kurang, hendaknya ia melihat cermin dirinya sendiri. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi sahabatnya. Sabda Rasulullah saw, “Dua perilaku utama yang tak ada unggulannya dalam hal kebaikannya: Husnudzon kepada Allah dan Husnudzon kepada hamba Allah. Sebaliknya tidak ada yang lebih buruk dari dua perilaku: Su’udzon kepada Allah dan Su’udzon kepada hamba Allah.”